Yeezy Season Zine: Rebel Sells Proof

tumblr_nif536ap4l1tfnotio1_1280

 

“Yoo Yeezy gue brooo”, merupakan sebuah bercandaan yang sangat viral dalam pergaulan Youtube, dan mungkin pengguna internet, terutama di Indonesia pada penghujung tahun 2016. Sebuah slapstick yang muncul karena salah satu akun Youtube bernama ‘Hatihatidiinternet’ ini merombak potongan vlog dari seorang stand up comedian bernama Kemal Palevi. Dengan adanya bahan bercandaan yang sangat goes viral ini, masyarakat semakin mengenal Yeezy sebagai salah satu produk dari Adidas. Dari yang digandrungi Hypebeast Kids, dan kini viral pada masyarakat internet Indonesia.

 

Hal yang paling menarik dari kemunculan produk ini adalah memunculkan banyaknya probabilitas dalam memodifikasi fungsi komoditas tersebut. Adidas sebagai sebuah brand tidak hanya menjual sepatu dan barang-barang olahraga, ada probabilitas lain yang diambil oleh mereka. Adam Smith pernah menuliskan mengenai kebutuhan penjual dalam meraup segala keuntungan, bahkan membuka setiap celahnya meskipun celah tersebut dapat dibilang tidak pantas. Tapi perihal profit tidak ada yang pantas dan tidak pantas, karena segalanya akan menjual, bahkan radikalisme sekalipun.

 

Ketika di Indonesia Yeezy telah dijadikan bahan bercandaan, sekaligus sebagai kemampuan dalam mendongkrak pemasaran Adidas, sang desainer, yang menolak disebut desainer yaitu Kanye West, juga gencar memasarkan produk dalam berbagai media. Ketika para produsen mulai gencar menyerang internet beberapa tahun belakangan (terutama setelah adanya platform beriklan di blog, Facebook, bahkan 9Gag), ia menerapkan pemasaran pada sebuah platform cetak yang dulunya digunakan sebagai media perlawanan dan penyebaran ideologi kerap diinisiasikan oleh kaum punk: zine.

 

Yeezy Season zine diterbitkan setiap peluncuran season oleh Adidas X Kanye West. Zine tersebut memiliki konten yang cukup berbeda dengan katalog yang dikeluarkan di setiap peluncurannya, mungkin lebih dapat disebut sebagai kumpulan sumber inspirasi dari tiap produk yang diterbitkan seasonnya. Pada season pertama (Yeezy Season One zine) menampilkan 53 halaman karya fotografi oleh Jackie Nickerson dengan masih menampilkan beberapa produk dari Yeezy. Pada peluncuran season pertama produk Yeezy ikut pula dipamerkan foto-foto pada zine tersebut, selain itu zine ini dibagikan secara gratis, namun pada hari keselanjutnya dijual seharga $80 USD. Pada season selanjutnya (Yeezy Season Two zine) yang peluncurannya cukup dekat dengan edisi pertama, juga dengan pengisi konten yang sama yaitu Kanye West dengan foto karya Jackie Nickerson juga, juga dengan harga yang sama (kecuali jika membeli di eBay berkisar $150 USD).

 

Dengan kisaran harga yang melebihi harga pasaran cetakan standar, bahkan untuk kebanyakan zine maupun majalah (magazine), Yeezy Season telah membawa zine kedalam tahap yang semakin abu-abu. Cukup lucu ketika pembicaraan mengenai zine dulu dipergunakan sebagai propaganda beralih fungsi sebagai komditas yang merujuk pada perusahaan multi-profit. Mungkin jika dipadankan dengan katalog baju (yang juga kerap dikeluarkan per season), ini terlampau berlebihan. Makna meluaskan serta memberi tahu menjadi bagian dari komoditas. Informasi adalah komoditas, yang bahkan kita tidak pernah tahu informasi tersebut menguntungkan (dalam indeks kekayaan intelektual) atau tidak. Zine mungkin kerap dimaknai sebagai bagian dari pengaplikasian ideologi “kiri” dan majalah (magazine) sebagai pengaplikasian “kanan”.

Saya sendiripun memaknai pemikiran “kiri” dan “kanan” tersebut bedasarkan diskusi yang pernah saya alami saat rangkaian acara Biennale Yogyakarta tahun 2015 bersama Fx. Widiatmoko (dosen DKV ISI Yogyakrta), Indra Menus (DAB Magazine), danGus Muh (Radio Buku). Pada dialog tersebut menghasilkan salah satu pemikiran bahwa zine memang bebas secara konten termasuk penataan visualnya sekalipun, namun satu yang pasti zine merupakan tindakan individu dalam membentuk sebuah jaringan (bisa pula berbentuk kolektif) dalam menyebarkan buah pemikiran yang bagi mereka pantas untuk diperkenalkan pada orang lain. Merupakan upaya berbagi literasi tanpa dibatasi permasalahan ekonomi sehingga dapat mengedukasi masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak mampu membeli edukasi. Dan salah satu pembeda yang pasti adalah majalah memiliki sponsor, memiliki penyokong dana dalam melanjutkan upaya mereka.

 

Hakikat sebuah zine sebagai bagian dari budaya literasi menjadi komodifikasi dalam berdagang, yang dalam kasus ini pada kebijakan dagang Adidas dan Kanye West maupun sebagai media promosi bagi mereka. Perihal itikad berbagi memang sudah pasti tidak akan terjadi pada komoditas berkualifikasi “kanan”, karena komoditas “kiri” pun dipergunakan oleh mereka, dan inilah yang membuktikan buah pemikiran Adam Smith. Radikal itu seksi, dan sangat menjual.

Chicks love bad boys because bad boys are sell out. Even tough those chicks seeking the good boys, she must be a hipster, because she’s a radical itself.

 

  • Zine yang menjadi sell out, dengan contoh Yeezy diatas, sebenarnya sudah bukanlah kejadian yang baru. Sell out zine is a magazine itself. Sebutlah Legs McNeil yang telah dikenal sebagai perintis budaya literasi Punk CBGB pada kemudian hari melahirkan Spin Magazine, pada ranah skate Punk lainnya juga melahirkan Trasher Magazine, begitupula Daze And Confused, atau Vice sekalipun. Setelah meraup keberhasilan dalam bentuk cetak, percepatanpun menuntut trend melihat dan mendengar, dan bukannya membaca. Bermunculanlah channel baik televisi hingga Youtube. Jika akhirnya diberi konklusi, maka yang dapat diucap hanyalah “rebel sells. That’s it.”.

 

 

2 thoughts on “Yeezy Season Zine: Rebel Sells Proof

Leave a comment